Tanah yang semakin Tak Subur Terkontaminasi di Era Pandemi COVID-19
Beranda > Artikel > Tanah yang semakin Tak Subur Terkontaminasi di Era Pandemi COVID-19
bg-artikle

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) telah terjadi sejak setahun yang lalu. Segala macam aktivitas serta mobilitas manusia sehari-hari pun terkena dampaknya. Akan tetapi di era new normal dewasa ini sudah mulai banyak pembenahan berbagai sektor kehidupan seperti pendidikan, industri, pertanian dan lain sebagainya yang menuntut manusia untuk segera dapat beradaptasi dengan budaya baru dengan tetap memperhatikan dan menerapkan protokol kesehatan yang aman. Keberadaan COVID-19 juga membawa berbagai permasalahan-permasalahan baru tak terkecuali munculnya problematika kesuburan tanah untuk kegiatan pertanian yang banyak terjadi di era pandemic COVID-19 dewasa ini.

Definisi tanah dalam bidang pertanian diartikan sebagai media tempat tumbuhnya tanaman. Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan bercampur dengan sisa-sisa bahan organik dan organisme (vegetasi atau hewan) yang hidup di atasnya atau di dalamnya. Berdasarkan karakteristik pedogenesisnya tanah berasal dari hasil pelapukan fisis maupun kimiawi dari batu-batuan yang kemudian butir-butir mineralnya membentuk bagian yang padat dari tanah. Berasal dari batuan sedimen ataupun batuan beku yang mengalami proses perubahan bentuk akibat adanya perubahan tekanan dan temperatur kulit bumi.

Era new normal telah membawa banyak perubahan pada keseimbangan ekosistem lingkungan secara umum dan lingkungan pertanian khususnya. Kebiasaan baru yang timbul tersebut seperti keberadaan pandemi virus COVID-19 mewajibkan semua orang di dunia untuk menerapkan protokol kesehatan demi melindungi diri dari COVID-19, salah satunya adalah dengan menggunakan masker medis (masker sekali pakai), masifnya kegiatan produksi sabun dan hand sanitizer yang dewasa ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan tentu akan menghasilkan efek samping atau dampak negatif bagi lingkungan tentunya. Banyak sampah masker medis, limbah bahan kimia kegiatan medis serta limbah B3 dari masifnya kegiatan produksi sabun dan hand sanitizer yang tak jarang ditemui banyak dibuang begitu saja sehingga masuk ke tanah dan mencemarinya yang bila dibiarkan begitu saja dapat bersifat toksik bagi tanah.

Salah satu wujud limbah dari adanya budaya baru masyarakat yang rajin mencuci tangan di era pandemi adalah limbah sisa air cuci tangan. Limbah air sisa cuci tangan memiliki kandungan yang hampir sama dengan limbah deterjen yang mengandung ABS (​Alkil Benzena Sulfonat​) serta fosfat yang cukup tinggi. Jenis limbah ini termasuk ke dalam grey water. Bahan-bahan berbahaya tersebut menjadi zat yang bersifat toksik bagi tanah karena dapat menghambat jalannya proses penyesuaian C/N ratio tanah dengan C/N ratio bahan organik tanah, proses dekomposisi bahan organik, mempengaruhi proses mekanisme penyerapan unsur hara oleh tanaman, serta apabila terdapat banyak kontaminan maka unsur hara yang dibutuhkan tanaman malah tidak tersedia (bersifat non-mobile). Manifestasi kimiawi ataupun biologis/tanda/gejala yang muncul untuk memastikan tanah terdegradasi oleh limbah B3 dari limbah air cuci tangan ini ditandai dengan adanya indikasi visual yang dapat dilihat berdasarkan warna tanah secara langsung.

Jika lingkungan perairan pada saluran air fungsional didapati adanya indikasi terkontaminasi limbah air cuci tangan ini kedepannya akan mengkontaminasi saluran-saluran air yang sangat vital tak terkecuali saluran irigasi untuk kegiatan pertanian. Apabila mekanisme ini terjadi maka tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan terganggunya proses pertumbuhan tanaman pada tanaman budidaya di lahan pertanian. Oleh karena itu perlu adanya upaya mitigasi akan pencegahan limbah air cuci tangan agar tak mengkontaminasi tanah pada areal penting.

Dr. Ir. Tri Candra Setiawati, M. Si. mengatakan bahwa Ada beberapa cara mencegah terjadinya tanah terkontaminasi limbah air cuci tangan tersebut yakni dengan penggunaan produk pembersih rumah tangga yang ramah lingkungan (biodegradable) yang mengandung sedikit busa dan air bekasnya dapat digunakan kembali untuk menyiram tanaman. Selain itu dengan menerapkan perilaku hemat air yang otomatis akan mengurangi buangan limbah cair, menanam tanaman hiperakumulator air yang bisa menyerap zat pencemar, seperti bunga ungu, lidi air, futoy ruas, bunga coklat, malati air dan lidi air pada selokan-selokan rawan pencemaran serta membuat Sistem Pengolahan Air Limbah atau SPAL.

Adapun beberapa hal yang harus dihindari ketika ada indikasi tanah telah terkontaminasi limbah B3 limbah air cuci tangan seperti halnya menghindari menanam tanaman yang diperuntukkan untuk dikonsumsi (edible plants). Akan tetapi menanam tanaman hiperakumulator yang non-edible. Cara menanggulangi atau cara mengatasi terjadinya masalah tanah terkontaminasi limbah B3 dari limbah air cuci tangan kegiatan remediasi (bioremediasi dan fitoremediasi). Upaya perawatan yang tepat serta bisa dilakukan oleh masyarakat khususnya masyarakat petani terkait masalah tanah terkontaminasi oleh limbah B3 air cuci tangan bisa dengan ditambahkan bahan organik melalui penerapan pemberian pupuk kompos, POC/POP yang bisa diproduksi dari bahan-bahan sederhana.

Dr. Ir. Tri Candra Setiawati, M. Si. juga mengatakan bahwa kemungkinan terburuk yang terjadi apabila tanah terkontaminasi limbah B3 air cuci tangan kedepannya yaitu tanah menjadi tidak sehat dan tidak produktif untuk kegiatan budidaya usahatani. Ketersediaan unsur hara dan aktivitas serta populasi mikroorganismenya berkurang. Ada beberapa pesan dari narasumber pada masyarakat terkait masalah tanah terkontaminasi oleh limbah B3 air cuci tangan antara lain:

  1. Jangan membuang sampah sembarangan, terutama bahan B3

  2. Pahami jenis limbah, terutama berdasarkan termasuk B3 nya atau tidak.

  3. Hindari penggunaan bahan kimia sebagai aplikasi pupuk atau pestisida.

  4. Direkomendasikan menggunakan pupuk organik yang bisa diproduksi dari bahan-bahan sederhana.Esensinya misalnya ada bahan organik, bahan kontaminan logam berat diikat oleh bahan organik yang tidak bisa diserap oleh tanaman.





Relawan TDKB

Penulis,

Muhammad Aziz Ihza Mahendra

Kelompok L

drg. Elyda Akhya Afida Misrohmasari

Sumber:

Maghfiroh, A. E., A. Siwiendrayanti. 2016. Hubungan Cuci Tangan, Tempat Sampah, Kepemilikan SPAL, Sanitasi Makanan dengan Demam Tifoid. Pena Medika. 6(1): 34-45.

https://www.aetra.co.id/sahabat_aetra/detail/65/Tips-Meminimalkan-Limbah-Rumah-Tangga

Narasumber:

Dr. Ir. Tri Candra Setiawati, M. Si.

(Koordinator Laboratorium Biologi Tanah, Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Jember)

Terbit tanggal 9 Juli 2021
Covid
Bagikan ke lainnya

Artikel Lainnya
  • Judul Artikel
    Pembaruan Sistem Pelayanan pada UPT Perpustakaan UNEJ di Era Pandemi Covid-19

    2 Juli 2021

    Baca Artikel
  • Judul Artikel
    Kondisi Perekonomian Usaha Kesehatan di Tengah Pandemi

    25 Desember 2021

    Baca Artikel
  • Judul Artikel
    Fakta dan Mitos Seputar Kesehatan Selama Pandemi Antibiotik dan Pengobatan Rumahan Bisa Membunuh Virus Corona ?

    20 Januari 2022

    Baca Artikel
  • Judul Artikel
    Relawan Tim TDKB Covid-19 Lakukan Visitasi Rutin di RSGM Universitas Jember

    8 Juni 2021

    Baca Artikel
  • Judul Artikel
    Visitasi Gedung CDAST oleh Relawan Tim TDKB COVID-19 dalam Upaya Pemutusan Rantai Virus COVID-19

    8 Juni 2021

    Baca Artikel
  • Judul Artikel
    Relawan Tim TDKB COVID-19 Lakukan Visitasi di Gedung Biro Akademik Kemahasiswaan dan Alumni

    8 Juni 2021

    Baca Artikel
  • Judul Artikel
    Relawan Tim TDKB COVID-19 Batch 1 Tahun 2021 Lakukan Visitasi Rutin di Fakultas Hukum Universitas Jember

    15 Juni 2021

    Baca Artikel
  • Judul Artikel
    Cek Kelengkapan Protokol Kesehatan Agrotechno Park Universitas Jember, Relawan Tim TDKB COVID-19 UNEJ Lakukan Visitasi Rutin

    29 Juni 2021

    Baca Artikel